integrasi dan koneksi tasawuf dan psikologi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian Tasawuf pada era klasik diposisikan pada hasil
pemikiran ulama yang sulit dipahami dan berkonsekuensi kurang diminati. Tasawuf
pada intinya adalah studi kejiwaan yang identik dengan psikologi dan
perlu diapungkan agar berkembang pesat seperti keadaannya psikologi.
Kajian-kajian keislaman memerlukan rekontruksi islami agar berkembang
seiring dengan perkembangan sains dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Sehubungan
dengan pemikiran tentang rekonstruksi islami bagi studi kejiwaan, M. Izzuddin
Taufiq (2006: 28-53) mengemukakan tiga kelompok sikap umat Islam untuk ini.
Pertama, sikap menentang dari kalangan Islam secara umum dengan alasan
bahwa Islam sangat kaya dan tidak memerlukan rekonstruksi. Di samping itu
kebudayaan mereka tidak memperbolehkan mereka untuk membahas
studi kejiwaan secara spesifik. Kedua, sikap menentang dari kalangan psikologi
sendiri karena mereka meragukan rekonstruksi tersebut. Berkenaan dengan hal
itu, Ismail al Furuqi yang gencar melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan
mengemukakan keluhannya bahwa dalam lembaga dimana ia melakukan penelitian terdapat
seratus ribu anggota yang menyandang gelar magister dan doktoral, namun sedikit
sekali yang dapat diperhitungkan keberadaannya, yang memiliki pemikiran kritis
dalam memberikan label Islami. Banyak dari mereka yang hanya mengekor kepada
kajian barat dan tidak peduli dengan rekonstruksi ini, bahkan menjadi orang
yang paling ragu dan memandang mustahil perwujudannya dan lebih jauh melakukan
provokasi terhadapnya. M. Malik B. Badri dalam bukunya Te Dilemma of Muslim
Psychologst melancarkan kritik terhadap para psikolog muslim yang
cenderung menggunakan aliran barat tanpa mempertimbangkan nilai-nilai
psikologis yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, menerima
pemikiran rekonstruksi dan terlibat aktif untuk mewujudkannya. Sikap ini
muncul dari kesadaran bahwa psikologi barat telah maju dengan pesat dan
pengaruhnya telah dirasakan dalam penelitian ilmiah.
Dalam studi Tasawuf, penulis sependapat dengan kelompok
ketiga di mana kajian tasawuf hari ini dapat berintegrasi dan berinterkoneksi
dengan psikologi yang berkembang sangat pesat. Tasawuf dan Psikologi memberikan
tempat yang sangat strategis terhadap potensi kepribadian manusia dalam menentukan
arah jalan kehidupan. Kedua bidang ilmu ini telah berupaya mengkaji kepribadian
manusia secara lebih komprehensif. Hanya saja perkembangan kajian Tasawuf
relatif lambat dibanding psikologi. Tasawuf dan Psikologi, keduanya unik,
dialami secara pribadi dalam bentuk yang berbeda pada tiap orang. Tasawuf
mengacu kepada kesalehan pribadi dengan berupaya selalu mendekatkan diri kepada
Tuhan atau berusaha tanpa putus untuk menghadirkan Tuhan di dalam hati.
Psikologi menyangkut kajian tentang jiwa/mental atau kondisi dalam diri
manusia, yang gejalanya teramati pada tingkah laku nyata. Dengan integrasi dan
interkoneksi antara Tasawuf dan Psikologi, perpaduan ini dapat saling
melengkapi dan berkembang secara bersama sehingga dikotomi ilmu dapat teratasi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud tasawuf ?
2. Bagaimana
Psikologi Memandang Manusia ?
3. Bagaimana
Aplikasi Integrasi dan Interkoneksi Tasawuf dan Psikologi ?
C.
TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui
tentang Tasawuf
2. Mengetahui Psikologi Memandang Manusia
3. Mengetahui Aplikasi Integrasi dan Interkoneksi Tasawuf dan
Psikologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tasawuf
Kata “Shufi” berasal dari bahasa
Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf”
(kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu
selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai
pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al
Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii
Dhau’il Kitab was Sunnah”
(hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini
termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang
artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya:
penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan:
“Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah
semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa
orang sahabat Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka
tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga
di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan
mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat
tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash
tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34,
-pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka
mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang didobel). Ada
juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di
hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau
benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat
fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang
mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua
makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau
benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang
mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin
Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman
jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian
orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka,
pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi
penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan
orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah
dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman
para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas
orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini
dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah
yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan
pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol)(Majmu’ul
Fatawa, 11/5-6).
Tasawuf adalah istilah yang sama
sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan
tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan
tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini.
(Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan
tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga
generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang
membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani
dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya
beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al
Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan
bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai
dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak
terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).
Berkata
Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan
sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri
kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan
melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada
akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan
orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya
hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. (Talbis
Iblis hal 161).
Dan berkata DR. Shabir Tha’imah
dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17) “Dan
jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka
selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada
orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh
penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan
lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para
pendahulu ahli tasawuf.”(Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat
At Tasawwuf, hal. 13).
Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi
Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal.
28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun
yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam
kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu
perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan
As Sunnah. Dan sama
sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam
perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum
yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza
wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf
ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan
model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha”
(Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf”
hal. 14).
Dari keterangan yang kami nukilkan
di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal
ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli
tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami
maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak
melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf
yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin
‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At
Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)
B.
Psikologi Memandang Manusia.
Berangkat dari pengertian psikologi
sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya
berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan
merupakan penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Dalam hal ini
unsur rohani tidak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi
kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata. Di samping itu,
filsafat manusia yang melandasi psikologi bercorak antroposentrisme di
mana manusia ditempatkan sebagai pusat dari segala pegalaman dan segenap
relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang berkaitan dengan manusia
dan kemanusiaan.
Sampai akhir abad keduapuluh, terdapat
empat aliran besar psikologi yakni Psikoanalisis, Perilaku (Behaviorisme),
Humanistik, dan Transpersonal. Masing-masing aliran melihat manusia dari sudut
pandang berbeda, dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai
dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, lalu membangun teori dan filsafat
tentang manusia.
Aliran Psikoanalisis yang dipelopori
oleh Freud (1856 – 1939) berangkat dari pengalaman dengan para pasiennnya. Ia
menemukan berbagai dimensi dan prinsip tentang manusia, kemudian menyususn
teori yang sangat mendasar, majemuk, serta luas implikasinya dalam bidang
ilmu-ilmu sosial, humaniora, filsafat, dan ilmu agama, serta memberikan
inspirasi terhadap berbagai karya seni.
Freud berpendapat bahwa kepribadian
manusia terdiri atas tiga sistem yaitu Id (dorongan-dorongan biologis), Ego
(kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif) yang
berinteraksi satu sama lain dan masing-masing memiliki fungsi dan
mekanisme yang khusus. Id adalah berbagai potensi yang terbawa sejak lahir,
insting dan nafsu primer, sumber energi psikis yang memberi daya kepada Ego dan
Superego untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Selain dari itu, manusia
juga memiliki tiga tingkatan kesadaran yaitu Alam Sadar (The Conscious),
Alam Prasadar (The Preconscious), dan Alam Taksadar (The
Unconscious). Psikoanalisis klasik dari Freud beranggapan bahwa
perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh Alam Taksadar dan
dorongan-dorongan biologis (termasuk nafsu) yang selalu menuntut kenikmatan
untuk segera dipenuhi. Dengan demikian, Psikoanalisis klasik beranggapan bahwa
pada hakikatnya manusia adalah buruk, liar, kejam, sarat nafsu, egois dan
sejenisnya yang berorientasi pada kenikmatan jasmani.
Aliran Perilaku (Behaviorisme)
beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya netral, baik buruknya perilaku
seseorang dipengaruhi oleh situasi dan perlakuan yang dialaminya. Psikologi
Perilaku memberikan sumbangan besar dengan ditemukannya asas-asas perubahan
perilaku yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi,
pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial melalui law
enforcement dalam bentuk:
a)
Classical Conditioning (pembiasaan klasik) yaitu rangsang (stimulus)
netral akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang itu sering
diberikan bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah menimbulkan pola
reaksi tersebut.
b)
Law of effect (hukum akibat) yakni perilaku yang menimbulkan
akibat-akibat yang memuaskan pelaku cenderung diulangi; sebaliknya
perilaku yang menimbulkan akibat tidak memuaskan atau merugikan cenderung
dihentikan.
c)
Operant conditioning (pembiasaan operan): suatu pola perilaku akan
mantap apabila berhasil diperoleh hal-hal yang diinginkan pelaku (penguat
positif) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat
negatif). Di sisi lain suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila
perilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tidak menyenangkan
(Hukuman), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan pelaku
(Penghapusan).
d)
Modeling (peneladanan): perubahan perilaku dalam kehidupan sosial
terjadi karena proses dan peneladanan terhadap perilaku orang lain yang
disenangi dan dikagumi.
Keempat asas perubahan perilaku itu
berkaitan langsung dengan proses belajar yang melibatkan unsur-unsur kognisi
(pemikiran), afeksi (perasaan), konasi (kemauan), dan aksi
(tindakan) atau dengan kata lain meliputi unsur cipta, rasa, karsa, dan
karya.
Aliran psikologi Humanistik
memandang manusia berbeda dengan Psikoanalisa yang beranggapan bahwa manusia
pada hakikatnya buruk, berbeda pula dengan aliran Behaviorisme yang
menganggap manusia pada hakikatnya netral. Aliran ini menganggap manusia pada
dasarnya memiliki potensi-potensi baik. Asumsi dasar yang digunakan dalam
memandang manusia bahwa manusia memiliki otoritas atas kehidupan dirinya
sendiri. Aliran Logonterapi yang dikelompokkan orang pada aliran
Humanistik menemukan ada dimensi lain dalam diri manusia selain dari dimensi
raga (pisik) dan kejiwaan (psikis). Dimensi lain itu adalah noetik atau
disebut juga dimensi kerohanian, namun tidak mengandung konotasi agamis. Victor
Frankl yang menemukan Logoterapi memandang dimensi ini sebagai inti kemanusiaan
dan merupakan sumber makna hidup.
Aliran Tanspersonal berpandangan
bahwa manusia memiliki potensi-potensi luhur (the highest potentials)
dan fenomena kesadaran (states of consciousness). Gambaran selintas
tentang Psikologi Transpersonal bahwa aliran ini mencoba menjajaki dan
melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap
sebagai garapan kalangan kebatinan dan mistikus. Aliran ini berpendapat bahwa
di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa
potensinya. (Bastaman, 2005:49-54).
Teori-teori yang dikonstruksi oleh
para ahli psikologi dalam berbagai aliran telah memberikan sumbangan besar
dalam pembentukan perilaku dan kepribadian manusia. Di samping itu,
perkembangan psikologi yang sangat pesat dengan berbagai cabang antara lain,
Psikologi Perkembangan, Psikologi Pendidikan, Psikologi Komunikasi, Psikologi
Abnormal, dan lain-lain telah
mendominasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Teori-teori yang dihasilkan telah diaplikasikan untuk berbagai lini
kehidupan dan boleh dikatakan cukup efektif dalam pembentukan perilaku.
C. Aplikasi Integrasi dan
Interkoneksi
Psikologi berarti jiwa, maka ilmu
jiwa adalah pembahasan mengenai gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam
tingkah laku. Dengan melalui ilmu jiwa, dapat diketahui gejala-gejala
psikologis yang bersumber dari tingkah laku yang ditampakkan seseorang.
Pembahasan
ilmu akhlak meliputi tingkah laku manusia, Dalam setiap
akhlak dibutuhkan suatu penghayatan apakah akhlak itu baik atau buruk melalui
kejiwaan kita sendiri dimana kita akan menilai seberapa kita mampu menjalankan
segala sesuatu yang telah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas
(tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak
dapat terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Pengembangan dan
penyempurnaan ilmu akhlak banyak menggunakan teori-teori ilmu jiwa. Al-Ghazali
menulis dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din tentang kondisi kejiwaan
manusia misalnya dapat dilihat salah satu pembahasannya yang membicarakan arti
jiwa, roh, hati dan akal. Begitu pula pada bab lain membicarakan terapi
kejiwaan yang sakit (Mu’alajah amran al-qalbi) ini menunjukkan betapa
sangat erat kaitan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa. Bahkan ilmu akhlak dalam
islam, disamping pengembangannya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, banyak juga
menggunakna teori ilmu jiwa analisis (psikoanalisis). Ilmu akhlak dapat
berkembang dengan menggunakan teori-teori psikologi dari hasil penelitian ahli
ilmu jiwa, sedangkan ilmu jiwa juga dapat dikembangkan dengan menggunakan
teori-teori ilmu akhlak dari kajian oleh para ulama akhlak.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa akhlak tasawuf ialah suatu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat mungkin melalui penyesuaian
rohani dan memperbanyak ibadah. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan akhlak
dalam segi agama akhlak tasawuf lebih mendalam lagi, karenanya dibutuhkan
keyakinan dalam kejiwaan seseorang, dalam hal ini ialah ilmu jiwa agama yang
meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa
besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan
hidup pada umumnya.
Harus diakui,
jiwa manusia seringkali sakit, ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan
perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya
tampak tenang dan prilakunya pun terpuji. Pola kedekatan manusia dengan
Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf, dari sinilah tampak
keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa.
Telah dikemukakan di atas bahwa
ajaran pokok tasawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa dan jalan
pendekatan diri menuju Tuhan. Pembentukan perilaku saleh dan mendekatkan diri
pada Allah terus menerus tanpa putus menjadi tujuan dari tasawuf. Teori-teori
psikologi yang telah ditemukan para ahli Psikologi dengan berbagai aliran
dapat berintegrasi dan berinterkoneksi dengan Tasawuf.
Secara sepintas dipahami bahwa
aliran Humanistik lebih mirip dengan kajian tasawuf, namun terdapat perbedaan
yang mendasar. Dalam mengadakan penelitian, mengikuti cara fenomenologis di
mana penelitian dilakukan terhadap manusia dengan mengungkap apa-apa yang
dirasakan dan dipikirkan, tanpa membawa praduga terlebih dahulu. Logonterapi
yang termasuk aliran ini melihat bahwa ada dimensi lain dalam diri manusia
yakni noetik (kerohanian) hanya saja tidak memperlihatkan nuansa agama.
Penelitian-penelitian yang dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik antara
lain yang dilakukan oleh Abraham Maslow menemukan lima jenjang kebutuhan
manusia yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan
rasa cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan
aktualisasi diri. Hanya saja tidak dapat dijelaskan apakah setelah lima jenjang
kebutuhan tersebut terpenuhi, manusia akan menjadi statis dan berhenti
berperilaku atau tetap berperilaku. Seandainya tetap berperilaku dikhawatirkan
muncul sikap antroposetrisme di mana manusia percaya diri dengan kemampuannya
dan memperlakukan manusia lain sesuai kemauannya. Pada hakikatnya, kajian
tasawuf dapat mengisi ruang ini dengan mengaitkan pada ajaran Tuhan.
Ajaran ini memberikan rambu-rambu
tentang cara berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan manusia.
Dalam dua bentuk hubungan itu harus ada keadilan dan keseimbangan agar
menjadi manusia sempurna (insan kamil). Ajaran tasawuf
dengan berbagai maqamat yang harus dilewatinya selalu melatih dan membiasakan
diri dengan takhalli (mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk/keduniaan),
tahalli (membiasakan diri dan memakai sifat-sifat terpuji), dan tajalli (merealisasikan
sifat-sifat terpuji dalam kehidupan). Agar pelaksanaan latihan tersebut
dapat dilakukan dengan baik, diperlukan bantuan psikologi yang
telah menemukan teknik pembelajaran dan perubahan perilaku yang telah ditemukan
oleh tokoh-tokoh aliran Behaviorisme.
Teori Abraham Maslow tentang
pengalaman puncak (peak experinence) boleh dikatakan mirip dengan
maqam tertinggi wahdatul wujud dari Ibnu ‘Arabi. Keduanya mengemukakan
pendapat tentang bersatunya individu dengan alam, hanya saja Ibnu ‘Arabi
menghubungkan dengan Tuhan, Pencipta alam di mana dia melihat bayangan Tuhan di
alam, semetara Maslow tidak menyertakan nuansa keagamaan.
Selain dari itu teknik-teknik
asesmen dalam psikologi untuk mengukur berbagai perilaku dapat pula digunakan
buat mengukur perilaku saleh yang dikemukakan dalam tasawuf. Psikologi telah
menemukan teknik-teknik yang relatif tepat untuk mengetahui dimensi kejujuran,
keamanahan, meningkatkan semangat kerja, dan lain-lain, namun belum
memasukkan dimensi pengontrolan Tuhan terhadap perilaku manusia. Perilaku beriman
dan berihsan dengan menyeimbangkan antara hakikat dan syari’at
dapat diketahui dengan teknik-teknik asesmen tersebut.
Penelitian-penelitian masyarakat
yang bernuansa Tasawuf dapat pula diintegrasikan dengan Psikologi.
Konsep-konsep tasawuf diupayakan pengukurannya dengan teknik pengukuran
pskologis. Hal ini dapat dilakukan baik untuk metode penelitian dengan
jenis kuantitatif, maupun kualitatif. Tanpa menghiraukan kelebihan
dan kekurangan dari masing-masing metode, menurut penulis penelitian
kualitatif lebih mendekati kebenaran untuk penelitian tasawuf daripada
penelitian kuantitatif. Dengan demikian, penelitian tasawuf tidak
hanya dapat dilakukan dengan library research, tetapi juga berlaku
untuk penelitian lapangan atau penelitian konteks.
Ditemukan
adanya keterkaitan antara kedua ilmu tersebut. Berkaitan dengan pencarian titik
singgung antara tasawuf dan psikologi agama itu dapat diungkap beberapa temuan
berikut: Pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian
kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajiannya.
Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah, metode
ilahiyah, dan metode-metode yang berkaitan dengan “qalb” lainnya. Sementara
psikologi agama menggunakan metode pengkajian psikologis empirik. Tasawuf
membahas bagaimana “menyucikan jiwa spiritualitas manusia beragama”, psikologi
agama membahas “bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap seluruh aspek
kehidupan manusia yang observeable terutama. Kedua, Tasawuf dan
psikologi agama berbicara tentang kondisi keberagamaan seseorang. Tasawuf
menggunakan pendekatan “rasa”, sementara psikologi agama menggunakan pendekatan
“positivisme”, cara berfikir positif, dan rasional empirik. Ketiga, kedekatan hubungan
tasawuf dengan psikologi agama ditemukan ketika ternyata “salah satu kajian
psikologi agama adalah perilaku para sufi”. Hanya saja psikologi agama melihat
ketasawufan para sufi melalui fenomena yang dapat diteliti dan diobservasi.
Psikologi agama tidak mengkaji tasawuf dari segi ajaran dan ritus-ritusnya,
melainkan hanya mengkaji bukti-bukti empirik ketasawufan seorang sufi.
Psikologi agama tidak melibatkan diri dalam pembelaan atau penyangkalan
terhadap hasil penghayatan para sufi. Psikologi agama hanya mengungkap pengaruh
ajaran tasawuf terhadap perilaku dan kepribadian seseorang. Berkaitan dengan
ungkapan tersebut, Bernard Spilka secara jelas menyatakan, “amalan mistik
(tasawuf) berpengaruh terhadap proses kejiwaan seseorang”.35 Kesimpulan hasil risetnya
tersebut dilakukan dengan menggunakan data-data temuan secara empirik dan
keterangan-keterangan dari pengalaman para sufi. Keempat, persinggungan tasawuf
dan psikologi agama dapat ditemukan dalam “obyek kajian”. Psikologi agama
bersinggungan dengan tasawuf dikarenakan ada kepentingan obyek kajian dan atau
obyek penelitian. Sebagaimana dalam uraian di atas, salah satu obyek kajian
psikologi agama adalah kesadaran dan pengalaman keberagamaanseseorang.
Sementara dua hal tersebut banyak ditemukan dalam ajaran dan perilaku kehidupan
para sufi. Berkait dengan itu, Nicholson menyatakan “Sufism is the type of
religious experiences” (Sufisme, tasawuf, merupakan suatu bentuk berbagai
pengalaman keberagamaan). Dengan demikian, titik persinggungan antara tasawuf dan
psikologi agama dapat ditemukan dalam beberapa aspek, sebagaimana diungkap di
atas, sekalipun persinggungannya tidak bersifat esensial. Secara hakiki, kedua
bidang kajian tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan
berbeda. Bahkan dapat dikatakan, tasawuf lebih bersikap pasif, sedangkan
psikologi lebih bersikap agresif. Penghayatan tasawuf para sufi sama sekali
tidak pernah berorientasi pada kepentingan keilmuan. Mereka hanya memiliki satu
orientasi, yaitu, bagaimana memperoleh kebahagiaan dan kedekatan
sedekat-dekatnya dengan Allah, Sang Khaliq, sementara psikologi agama cenderung
terus mencari dan meneliti “semua perilaku dan perikehidupan para sufi”.
Kapanpun psikologi agama berdiskusi, maka aspek kehidupan esoterik sufistik
umat beragama tidak bisa ditinggalkan. Bahkan aspek tasawuf menjadi bagian
kajian yang menyita ruang buku-buku dan riset-riset psikologi agama. Sekalipun
persinggungan antara keduanya bersifat pasif aktif, namun persinggungannya
dapat dikatakan bersifat mutualisme. Persinggungan antara kedua saling memberi
keuntungan dan saling memberi manfaat, terutama, bagi upaya pengembangan dan
pemahaman masing-masing ilmu tersebut. Studi terhadap pengalaman para sufi
dapat memberikan kesempurnaan pengkajian psikologi agama. Sedangkan pengalaman
para sufi yang diungkap melalui kajian psikologi agama dapat memberikan
pemahaman dan sekaligus manfaat bagi orang yang hendak mengkaji dan atau
mendalaminya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kajian keislaman diantaranya
Tasawuf dapat berintegrasi dan berinterkoneksi dengan Psikologi.
Dengan perpaduan tersebut, kajian tasawuf lebih diminati dan dapat
berkembang seiring dengan perkembangan Ilmu-ilmu Sosial dan
Humaniora. Kajian-kajian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Agama,
sudah waktunya mengembangkan perpaduan demikian agar kajiannya lebih
prospektif.
Sementara
tasawuf merupakan bagian integral dari ajaran agama. Tasawuf merupakan ajaran penyempurna
aspek syariat. Muhammad Aqil menegaskan, setiap sesuatu itu memiliki hakikat,
hakikat syariat adalah tasawuf. Kesempurnaan amalan syariat sangat ditentukan
amalan tasawuf. Kesimpulan tersebut dipertegas pendapat Husein Nasr yang
mengatakan “sebenarnya tasawuf itu merupakan perwujudan ihsan, bagian ketiga
setelah Islam dan Iman”. Mengimplikasikan ajaran tasawuf dalam usaha memperoleh
ketenangan hidup di era modern ini. Ajaran sufistik (Islam) tidak hanya milik
para sufi di istana gading semata, tetapi ajaran sufistik dapat diejawentahkan
oleh siapapun seorang muslim dalam usahanya memperoleh ketenangan dan kebahagiaan
hidup sesuai dengan derajat ilmu dan pemahamannya. Persinggungannya merentang
dari obyek kajian hingga tujuan yang hendak dicapai keduanya. Pengkajian dari
segi titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama, ini setidaknya
semakin membuka peluang lebih luas bagi penelitian terhadap ilmu-ilmu keislaman
di masa-masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Bastaman,
Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta:
Yayayasan Insan Kamil & Pustaka Pelajar, cet. IV, 2005.
Esposito,
John L. (ed) terj. Eva Y. N dkk. “Sufisme” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia
Islam Modern , Jilid 5, Bandung: Mizan, 2001.
Fromm,
Erich. The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Akar
Kekerasan, Analisis Sosio Psikologis atas Watak Manusia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet II, 2001
Al-Ghazali.
Ihyaa! ‘Ulumud Diin, juz 3, Mesir: ‘Isa al-Babiy
al-Halabiy wa Syurakauh, tt.
Goble,
Frank G. terj. A. Supratiknya, Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham
Maslow, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Hasan,
Aliah B. Purwakania, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006
Imail,
Asep Usman “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Muhammad,
Hasyim. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Walisongo
Press & Pustaka Pelajar, 2002
Mujib,
Abul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006
An-Najar,
Amir. Al-‘Ilmu an-Nafs ash-Shufiyyah, terj. Hasan Abrari, Ilmu
Jiwa dalam Tasawuf, Jakarta: Pustaka Azzam, cet. II, 2001
Najati,
Muhammad Usman, Al-Quran wa ‘Ilm al-Nafs, Kairo: Dar al-Syuruq, cet.
VI, 1417 H/ 1997 M
———————————,
Al-Hadits wa ‘Ulum an-Nafs, terj. Zainuddin Abu Bakar. Psikologi
dalam Perspektif Hadis, Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2004
Nashori,
Fuad, Potensi-potensi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II,
2005
Sapuri,
Rafi. Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Taufiq,
Muhammad Izzudin. At-Ta’shil al-Islami li l-Dirasati al-Nafsiyyah, terj.
Sari Narulita, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Jakarta:
Gema Insani, 1427 H/ 2006 M
0 Response to "integrasi dan koneksi tasawuf dan psikologi"
Posting Komentar