HAMKA
A. SEJARAH KELAHIRAN HAMKA
Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Haji
Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA, (akronim pertama bagi orang Indonesia) Dalam
nama tersebut tercantum nama ayah dan kakeknya (Hamka, 1967: 57-58). Hamka
sengaja menggabungkan nama kedua laki-laki yang sangat dihormati dalam
hidupnya. Ia berharap dapat melakukan apa pun sama baiknya, seperti ayah dan
kakeknya. Sebenarnya, nama pemberian kedua orang tua Hamka adalah Abdul Malik.
Pemilihan nama tersebut karena ayah Hamka sangat menghormati salah satu gurunya
sewaktu belajar Islam di Mekah, yaitu Sjech Ahmad Chatib (Hamka, 1967: 66).
Oleh karena itu, ayahnya memberi nama yang sama dengan putra dari gurunya,
yaitu Abdul Malik. Selain dikenal dengan Hamka, ia juga memiliki beberapa nama
samaran, yaitu A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki (hamzah, 1996:3).
Lahir
di kawasan Sungai Batang, desa kampung Molek, Tanjung Raya,
Kabupaten Agam,
Maninjau
(Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Pebruari 1908 M./13 Muharam 1326
H [1]dari
kalangan keluarga yang taat beragama. Beliau adalah sastrawan
Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.[2]
Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah
dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.[3] Ayahnya
adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) bin Syekh Muhammad Amrullah
(gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh, sebagai salah seorang pembawa pembaharuan
dalam Islam yang di waktu itu disebut kaum muda. Merupakan pelopor
Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Sementara ibunya
bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria,
istri kedua bagi ayahnya. (w. 1934) dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari
suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya[5]. [6]. Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka,
bangunannya merupakan rumah
tempat Hamka dilahirkan.
Ia merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara
Kehidupan masa kecil Hamka sangat dipengaruhi oleh keinginan dan harapan
ayahnya. Salah satu harapan ayahnya adalah menjadikan Hamka sebagai ulama (Ali,
1983: 465). Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA
dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara
kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang
tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI
Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese
yang masuk Islam.
.Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling
banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri
di era modern.[4]
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang
berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku
atau seseorang yang dihormati.
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
Ketika Hamka berumur enam tahun, ia dibawa ayahnya
ke Padang Panjang karena di sana menjadi tempat berkumpul orang-orang
mempelajari agama Islam. Setelah itu, saat Hamka berumur tujuh tahun sudah
belajar di sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Al-Qur’an pada ayahnya
hingga tamat. Setelah itu dari tahun 1916-1923, ia belajar agama Islam dan
bahasa arab di Diniyah school dan Sumatra Thawalib di Padang Panjang dan
Parabek. Sumatra Thawalib adalah suatu sistem pendidikan yang didirikan oleh
ayahnya sendiri. Selain itu, sumatra thawalib juga dikenal sebagai julukan bagi
golongan yang memperoleh pendidikan islam. Thawalib School, kurikulum dan
materi pelajaran masih memakai cara lama. Buku-buku lama dengan keharusan
menghafal, masih merupakan ciri utama sekolahan ini. Inilah yang membuat Hamka
cepat bosan. Keadaan inilah yang membuat Hamka berada di perpustakaan umum
milik Zainuddin Labai el-Yunusi dan Bagindo Sinaro (Jassin, 1987: 121). Walaupun
pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah.
HAMKA
juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama
terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.
Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Tatkala ia berusia 12 tahun, kedua orang tuanya
bercerai. Perceraian kedua orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang
dialaminya. Tak heran jika pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi
kaum laki-laki Minangkabau yang kawin lebih dari satu. Sebab hal tersebut bisa
merusak ikatan dan keharmonisan rumah tangga.
Hamka dikenal sebagai seorang
petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada tahun 1924, Hamka pergi ke Yogyakarta. Hamka
kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik
ayahnya, Ja’far Amrullah di desa Ngampilan. Bersama dengan pamannya, ia diajak
mempelajari kitab-kitab klasik dengan beberapa ulama waktu itu, seperti Ki
Bagus Hadikusumo (tafsir), R.M. Soeryopranoto (sosiologi), KH. Mas Mansur
(filsafat dan tarikh Islam), Haji Fachruddin, H.O.S. Tjokroaminoto (Islam dan
sosialisme), Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, dan A.R. Sutan
Mansur (Hamzah, 1993: 5).
Ketika di Yogyakarta, ia berkenalan dengan
teman-teman seusianya. Di antaranya Muhammad Natsir. Di sini, ia mulai
berkenalan dengan ide pembaharuan gerakan SI dan Muhammadiyah yang dipimpin
A.R. St. Mansur. Kemudian pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan dan
tinggal selama enam bulan bersama iparnya, A.R. St. Mansur. Ia banyak belajar
dari iparnya, baik tentang Islam yang dinamis maupun politik. Di sini ia
“berkenalan” dengan ide-ide pembaharuan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,
dan Rasyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat. [7] Pelajaran baru yang diperoleh Hamka menimbulkan
semangat kesadaran Islam yang murni dalam dirinya. Oleh karena itu, ia turut
serta dalam kegiatan-kegiatan sosial politik dan agama di Yogyakarta.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik
Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal.
Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan
Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean
Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan
bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki
Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato
yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan
Muhammadiyah.
Selain
senang membagi pengetahuan yang didapatnya, Hamka juga rajin memperluas
pengetahuannya melalui beberapa bacaan, seperti jurnal Seruan Azhar yang terbit
di Mesir. Berdasarkan bacaan tersebut, ia memperoleh informasi tentang
gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam
membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud (Ali, 1983:472).
Selain itu, ia juga berlangganan surat kabar Hindia Baru dan Bendera Islam.
Bacaannya itu juga memperluas pengetahuan tentang gerakan Islam di Indonesia.
Pengetahuan luas yang dimiliki Hamka membuat dirinya semakin berkembang menjadi
pribadi yang berkualitas.
Pada
bulan Juni 1925, ia pulang ke Maninjau dengan membawa semangat dan
wawasan baru tentang Islam yang dinamis. Adapun buah tangan berharga yang
dibawanya adalah beberapa buah karya yang memuat pemikiran dinamis ilmuan muslim
waktu itu, antara lain Islam dan Sosialisme (kumpulan dari semua pidato
H.O.S. Tjokroaminoto) dan Islam dan Materialisme (salinan merdeka A.D.
Hani atas karangan Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Dengan berbekal pengalaman dan
pengetahuan, baik agama maupun umum, ia telah berani tampil berpidato di muka
umum. Untuk membuka wawasannya, ia mulai berlangganan surat kabar dari Jawa.
Melalui surat khabar tersebut, ia banyak berkenalan pula dengan ide-ide
pembaharuan dan pergerakan umat Islam, baik di Indonesia maupun luar negeri,
seperti Haji Agus Salim, Ir. Soekarno, Mustafa Kemal Attaturk, Ibn Sa’ud, Sa’ad
Zaghlul Pasya, Syarif Husein, dan lain sebagainya. Meskipun kegandrungan ide
pembaharuannya demikian menggelora, bukan berarti ia lupa untuk mendalami adat Minangkabau.
Sebagai putra Minang, ia juga mempelajari adat istiadat negerinya dengan Dt.
Singo Mangkuto.
Untuk memperkenalkan semangat
modernis tentang wawasan Islam “baru” tersebut, ia awali dengan membuka kursus
pidato yang diberi nama “Tabligh Muhammadiyah” pada tahun 1925. Pelaksanaannya
dilakukan sekali seminggu dan mengambil tempat di Surau Jembatan Besi
Padangpanjang. Naskah pidato teman-temannya, banyak yang ia sendiri
membuatkannya. Kumpulan pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul
Khatib al-Ummah.
Pada tahun 1927, ia berangkat ke
Mekah untuk menunaikan ibadah haji sambil menjadi koresponden pada harian
“Pelita Andalas’ di Medan. Sekembalinya dari Mekah, ia tidak langsung pulang ke
Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di
Medan, ia banyak menulis artikel dipelbagai majalah waktu itu, seperti
majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura, pembantu redaksi “Bintang
Islam”, dan “Suara Muhammadiyah” di Yogyakarta. Atas desakan iparnya, A.R. St.
Mansur, ia kemudian diajak pulang ke Padangpanjang. Sekembalinya dari tanah
suci, dalam satu rapat adat ninik mamak “Nan Kurang Dua Empat Puluh” dalam
Nagari Sungai Batang, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan
gelar Datuk Indomo, gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung.
Pada tanggal 5 April 1929
ia kemudian dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan (anak mamaknya).
Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia 11 orang anak. Mereka antara
lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan,
‘Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia,
satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan
seorang perempuan asal Cirebon, yaitu Hj. Siti Khadijah.
Kreativitas jurnalistiknya
semakin kelihatan melalui beberapa karya tulisnya. Pada tahun 1928, ia menulis
buku romannya yang pertama dalam bahasa minang dengan judul “si Sabariah”. Ia
juga pemimpin majalah “Kemajuan Zaman” di Medan. Pada tahun 1929, hadir pula buku-bukunya,
seperti Sedjarah Sajjidina Abubakar Shiddiq, Ringkasan Tarich Umat Islam, Agama
dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau (buku ini dilarang beredar oleh
Kolonial pemerintah Belanda), Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat
Mi’raj, dan lain sebagainya. Dinamika jurnalistiknya terus berkembang dan
melahirkan berpuluh-puluh karya tulis, baik yang berbentuk roman, biografi dan
otobiografi, tasauf, tafsir, sosial kemasyarakatan, pemikiran pendidikan
(Islam), teologi, sejarah, dan fiqh. Namun demikian, tidak semua karyanya
tersebut merupakan tulisan secara utuh. Sebagian di antaranya merupakan
kumpulan artikel yang tersebar dalam berbagai media massa dan kemudian
dibukukan.
Kariernya di Muhammadiyah mulai
diperhitungkan, terutama ketika ia menjadi pembicara dengan makalah ‘Agama
Islam dan Adat Minangkabau’ pada Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi
tahun 1930. Melalui makalah tersebut, menempatkannya sebagai pembicara yang
pertama sekali mencoba mempertalikan antara adat dan agama. Pada awal 1930, ia
diajak ayahnya ke Sumatera Timur dan Aceh untuk memenuhi undangan kaum
Muhammadiyah di sana. Kemudian pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk
mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia meneruskan perjalanan ke Bagan
Siapi-Api, Labuhan Bilik (Pane), Medan, dan kemudian ke Tebing Tinggi, sebagai
mubaligh Muhammadiyah. Kepiawaiannya sebagai mubaligh kembali memukau para
peserta Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada tahun 1931, dengan
judul ‘Muhammadiyah di Sumatera’. Dengan kemampuan retorikanya
dalam menyampaikan makalah, telah menarik perhatian seluruh peserta kongres,
bahkan sampai menangis. Untuk itu, tidak heran jika pada tahun 1932 ia
dipercayai oleh pimpinan Muhammdiyah sebagai mubaligh ke Makasar (Sulawesi
Selatan) dan pada tahun 1934 sebagai anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah
Sumatera Tengah. Ketika di Makasar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai
seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan
sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia
mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan pada masa ini
ia muncul sebagai peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat
ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu
saja, ketika di Makasar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam
yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama “al-Mahdi”.
Setiap penerbitan majalah ini dicetak sebanyak 500 eksamplar. Karena faktor
biaya, majalah ini hanya mampu bertahan sebanyak 9 nomor. Pada tahun 1934, ia
meninggalkan Makasar dan kembali ke Padangpanjang untuk meneruskan cita-citanya
dan mengelola Kulliyatul Muballighin antara tahun 1934-1935. Tujuan
lembaga ini adalah untuk mencetak para mubaligh. Pada beberapa mata pelajaran
penting seperti ilmu ushul fiqh dan manthiq, ilmu ikhtilaful mazahib
(dengan memakai kitab Bidayatul Mujtahid), ilmu tafsir (al-Manar),
dan ilmu ‘arudh. Akan tetapi, karena honorarium dari mengajar tak mampu
mencukupi kebutuhan keluarganya, maka bulan Januari 1936, ia memutuskan untuk
berangkat ke Medan. Di Medan –bersama M. Yunan Nasution– ia mendapat tawaran
dari Haji Asbiran Ya’kub dan Mohammad Rasami (bekas sekretaris Muhammadiyah
Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat dengan
gaji sebesar f 17,50. Meskipun melalui banyak rintangan dan kritikan, sampai
tahun 1938 peredaran majalah ini berkembang cukup pesat, bahkan oplahnya
mencapai 4000 eksamplar setiap penerbitannya.
Melalui rubrik “tasauf modern”,
tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun
kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan
Pedoman Masyarakat. Pemikiran-pemikirannya yang cerdas yang dituangkannya di
Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung
antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus
Salim, dan Mohammad Isa Anshari.
Ketika zaman pendudukan Jepang
(1942), ia masih sempat menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun demikian,
kehadiran majalah ini tidak bisa menggantikan kedudukan majalah Pedoman
Masyarakat yang telah demikian melekat di hati pembacanya. Di tengah-tengah
kekecewaan massa terhadap kebijakan Jepang, ia memperoleh kedudukan istimewa
dari pemerintah Jepang sebagai anggota Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan
Rakyat) pada tahun 1944. Sikap kompromistis dan kedudukannya sebagai “anak
emas” Jepang telah menyebabkannya terkucil, dibenci, dan dipadang sinis oleh
masyarakat. Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuatnya “lari malam” dari
kota Medan menuju Padangpanjang pada tahun 1945.
Sesampainya di Padangpanjang, ia
dipercayakan untuk memimpin kembali Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan
kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di
antaranya ; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran,
Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah
Cita-Cita. Pada konferensi Muhammadiyah di Padangpanjang pada tahun 1946,
ia terpilih sebagai ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur menggantikan S.Y.
Sutan Mangkuto, sampai tahun 1949.
Setelah tercapainya Persetujuan
Roem-Royen pada tanggal 18 Desember 1949, ia memutuskan untuk meninggalkan
Minangkabau menuju Jakarta. Di sini, ia menekuni dunia jurnalistik dengan
menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka.
Ia kemudian mengarang karya otobiografinya Kenang-Kenangan Hidup (1950).
Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi. Bersama-sama
dengan tokoh Masyumi lainnya, ia mendukung gagasan untuk mendirikan negara
Indonesia yang berdasarkan Islam. Bersama K.H. Faqih Oesman dan M. Yusuf Ahmad,
pada tanggal 15 Juni 1959 ia menerbitkan majalah bulanan Panji Masyarakat.
Pada tahun yang sama, ia mendapat
anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo atas
jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu yang
indah. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan
tersebut dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang kesusanteraan, serta
gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Pada tahun 1960 beliau terpilih menjadi Imam
besar Masjid al-Azhar. Karena tuduhan palsu terlibat percobaan pembunuhan
terhadap presiden Sukarno sebagaimana isu yang berkembang Indonesia pada akhir
tahun 2002, bahwa Syeikh Ba’asyir diisukan merencanakan pembunuhan terhadap
Presiden Megawati Sukarno Putri-Hamka ditahan pada tahun 1964. selama dua puluh
bulan berada di tahanan, beliau menyelesaikan naskah Tafsir al-Azhar sebanyak
tiga puluh jilid.
Pada bulan Mei 1960 kontinuitas
majalah ini terpaksa ditutup (dibrendel) dan kemudian kembali diterbitkan pada
tahun 1967 pada masa pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1950, setalah
melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya, ia melakukan lawatan ke beberapa
negara Arab. Di sini, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri
Abadah yang karangan mereka selama ini dikenalnya dengan baik. Sepulangnya dari
lawatan ini, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di
Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.
Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka
yang sejak tahun 1975 menjadi ketua MUI mengundurkan diri dari jabatan
tersebut. Hal ini disebabkan oleh perayaan Natal yang dilakukan bersama dengan
penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI yang diketuai Hamka telah
mengelurkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk mengikuti
perayaan Natal, di mana fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama
Alamsyah Ratu Perwira dan meminta untuk mencabutnya.
Hamka meninggal dunia di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir,
Jakarta Selatan.
C. Hamka dan
Kegiatan Tulis-Menulis
Pada tahun 1925,
Hamka menulis majalah pertama yang bernama Khatib ul Ummah. Majalah
tersebut berisi kumpulan pidato anak muda yang mengikuti kursus pidato
di surau ayahnya (Ali, 1983: 471). Pada waktu yang sama, Hamka juga
menerbitkan majalah Tabligh Muhammadiyah. Pada tahun 1927, ia
berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang pertama. Selama di
Mekah, Hamka menjadi koresponden pada harian Pelita Andalas di Medan.
Semasa hidupnya, Hamka sudah menjalani naik haji sebanyak tujuh kali.
Pulang dari Mekah, ia menulis pada majalah Seruan Islam di Tanjung Pura
(Langkat). Selain itu, ia juga menulis pada Bintang Islam dan Suara
Muhammadiyah di Yogyakarta. Setahun kemudian, Hamka menjadi pemimpin redaksi
majalah Kemajuan Zaman. Dua tahun setelah naik haji, Hamka
menikah dengan Siti Ramah, tunangannya semasa kecil, pada tanggal 5
April 1929. Ketika menikah, usia Hamka 21 tahun dan istrinya berusia 15
tahun. (Poeradisastra, 1996:51).
Pernikahan Hamka
dengan Siti Ramah mendapatkan sepuluh orang anak, tujuh orang laki laki dan
tiga orang perempuan. Sejak pernikahan dan gelar hajinya, Hamka mulai
mendapatkan tempat sebagai ulama terpandang di Minangkabau hampir menyamai nama
ayahnya. Pada kenyataannya, sebelum Hamka menunaikan ibadah haji, sering kali
ia mendapatkan kritik sebagai tukang pidato yang tidak berijasah (Ali, 1983:
471). Hal itu tidak dapat ditutupi karena Hamka mendapatkan berbagai macam
pengetahuan tidak menempuh pendidikan formal, seperti sekolah. Ia mendapatkan
pengetahuan secara otodidak dengan senang membaca berbagai jenis buku, belajar
apa pun saat ia berpindah-pindah tempat tinggal, dan menimba ilmu kepada orang-orang
yang pengetahuannya lebih luas daripada dirinya. Sebelum pindah ke Medan, Hamka
sempat mengajar di Makasar dan menerbitkan majalah Al-Mahdi selama tiga
tahun. Pada tahun 1935, ia bersama kawan-kawannya menerbitkan mingguan Islam di
Medan, yaitu Pedoman Masyarakat. Majalah itu dipimpinnya dari tahun
1936—1943. Pada waktu itu, karangan yang diterbitkan dalam majalah tersebut,
antara lain agama, filsafat, tasawuf, novel, roman, dan cerita pendek. Namun,
kedatangan Jepang di Medan membuat Pedoman Masyarakat dibredel karena
tidak sejalan dengan keinginan Jepang.
Semasa penjajahan
Jepang, Hamka diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Syu Sangi Kai)
untuk masalah pemerintahan dan keislaman pada tahun 1944. Jabatan ini membuat
posisi Hamka terpojok karena dianggap sebagai mata-mata penjajah dalam pribumi
oleh teman-temannya. Pada kenyataannya, Hamka menerima tawaran tersebut karena
percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Kepolosan Hamka dalam menanggapi janji semu tersebut dapat membuktikan bahwa
jiwa politikus Hamka tidak lebih tajam dari jiwa berdakwah dan menulis dalam
dirinya.
Setelah pecah
revolusi, Hamka kembali ke Sumatera Barat pada tahun 1945. Di sana, ia menulis
untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian
dari rakyat yang menginginkan perubahan. Melalui karya-karyanya, ia
menyampaikan pemikiran tentang perubahan ke arah yang lebih baik. Buku-buku
yang dihasilkan, antara lain Revolusi Pikiran, Revolusi Agama,
dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Setelah berkecimpung dengan
situasi revolusi di Sumatera Barat, Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950. Di
Jakarta, Hamka semakin giat menulis untuk mendokumentasikan apa yang sudah
dialaminya. Pada waktu itu, orang banyak sudah mengakui kepiawaian Hamka dalam
menulis, baik karya sastra maupun berbagai artikel keagamaan. Dengan
keahliannya tersebut, pada tahun 1951—1960, Hamka diangkat menjadi anggota
Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementrian P.P dan K serta menjadi penasehat
kementrian Agama. Di lingkungan pemerintahan, Hamka juga menjabat sebagai
anggota Majelis Perhimpunan Haji (Jamil, 1983: 63). Pada waktu yang sama, Hamka
menjabat sebagai dosen luar biasa pada perguruan tinggi Islam dan Universitas
Islam di Makasar. Di samping itu, Hamka menjabat sebagai direktur periodik
majalah Panji Masyarakat pada tahun 1955—1958.
Pada tahun 1958, Hamka menerima
gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir atas inisiatif
mantan Duta Besar Mesir di Indonesia, Sajid Ali Fahmi Al Amrousi. Gelar
tersebut diberikan karena pidatonya yang berjudul “ Pengaruh Muhammad Abduh di
Indonesia”. Selain sebagai pengarang, Hamka juga ulama yang pandai berpidato.
Keahliannya tersebut diwariskan oleh kakek dan ayahnya. Pada tahun 1959, Hamka memimpin
majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Majalah tersebut berisi
tentang pengetahuan dan kebudayaan Islam. Namun, majalah tersebut dihentikan
penerbitannya oleh penguasa perang Jakarta Raya pada tahun 1960 karena memuat
tulisan Mohammada Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” (Hamzah, 1993: 6).
Berbagai peristiwa penghentian penerbitan majalah yang pernah dipimpinnya tidak
membuat Hamka jera untuk memimpin
majalah kembali.
Pada tahun 1962, Hamka kembali
mendirikan majalah Gema Islam, majalah pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Namun, pada tahun 1964, majalah tersebut dihentikan penerbitannya karena Hamka
dituduh melanggar Penpres Anti Subversif oleh pemerintahan Soekarno (Hamzah,
1993: 6). Hal itu menyebabkan Hamka ditahan di penjara sampai tahun 1966.
Meskipun menjadi tahanan, tidak menyurutkan keinginan Hamka untuk tetap
menulis. Semasa menjadi tahanan, Hamka menghasilkan satu buku yang berjudul Tafsir
Al-Azhar. Setahun setelah keluar dari penjara, Hamka menerbitkan dan
memimpin majalah Panji Masyarakat. Ia tidak gentar dengan kepemimpinan
Soekarno yang telah membuat dirinya masuk ke dalam penjara selama dua tahun.
Menurutnya, menulis adalah kegiatan yang harus tetap dilakukan agar dapat
menyuarakan pemikirannya.
Hamka kembali mendapatkan kepahitan
dalam hidup ketika istrinya, Siti Rahmah, meninggal pada tanggal 1 Januari
1972. Namun, kesedihan Hamka ditinggalkan istri tidak terlalu lama
dirasakannya. Pada tanggal 19 Agustus 1973, ia menikah kembali dengan Hajjah
Siti Khadijah dari Cirebon. Setahun kemudian Hamka mendapatkan kembali gelar
Doctor Honoris Causa. Gelar kedua yang diterimanya tersebut berasal dari
Universitas Kebangsaan Malaysia. Keaktifannya berperan dalam masalah-masalah
sosial dan keagamaan di Indonesia sebagai salah satu faktor penting atas
pemberian gelar tersebut. Tahun berikutnya, 1975, Hamka menjabat sebagai Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia menjabat dari tahun 1975—1981 (Hamzah,
1993: 7). Jabatan ini adalah jabatan terakhir yang dipegang sebelum akhir
hayatnya. Hamka meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di rumah sakit Pertamina
karena serangan jantung.
0 Response to "HAMKA"
Posting Komentar