Nice day :) 5 desember 2012

today, I'm very happy. I really satisfied with my presentation english :). thanks god " good job".We are ICP PGMI 2011 have plan to go to candi badut. many problem to go there because rain is heavy. jadi, kita semua mlencar2, ada yang nunggu sambil makan bakso dan nitili krupuk, ada yang berempat duduk2 cerita gak jelas, ada yang nunggu di warumg ma'e sambil memandangi bumbu rujak manis yang enak banget. akhirnya hujan reda "syukurlah" :) satu per satu mulai berdatangan di tempat lokasi. hal yang paling membuat ngakak adalah anis yang memakai mantel tapi yang di manteli adalah sepedanya, hahahaha bukan orangnya. kayak power rangers yang mau berubah, hahahaha. observasi pun berjalan lancar walaupun masih gerimis. waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, kita semua berkemas untuk kembali ke micro teaching for makan RUJAK :) tapiii masalah datang lagi khususnya ke aku :(. sepeda motorku tiba-tiba nggak bisa nyala (mampus deh gue) pengen nangis, teriak, ibuuuk. untungnya masih ada teman-teman yang setia menungguku. rosi dan rofiq (pacarnya anis) mengutak-atik busi sepeda dan hasilnya NIHIL. OMG akhirnya, kubawa ke bengkel terdekat bersama teman-teman. mungkin batin bapak bengkel yaitu yang rusak sepedanya satu tapi yang ngantar kok ber-21 orang. KARENA INILAH KITA PAK "ICP PGMI 2011" hahahahaalhamdulillah sepedaku bisa diperbaiki oleh bapak bengkel. terima kasiiih pak. aku, putri, shelly, esa, anis, rofiq kembali menuju micro tapi kita tersesat atau istilahnya nyasar. OMG. jadi, kita kembali ke jalan yang awal yaitu bertobat "LHO ?"
sampai ke micro teaching, kita lupa untuk membawa kertas bungkus. yeah, nunggu deh. tapi tak apalah :) hal ini yang membuat menarik :)kertas bungkus telah datang, anak-anak ICP PGMI 2011 langsung menyerbu dan menata rujak manis seperti harimau yang mendapatkan rusa. luahap banget. sampai-samapi pak ruma - dosen tarbiyah- bilang ini anak2 laper atau rakus yaa ? hehehehehada acara yang sangat sakral hari ini selain observassi dan rujak'an yaitu penggambyoran bagi anak yang ultah bulan desember :)*KAPOK hahahaha

the point is I want say thank u so much for everything to ICP PGMI 2011 and I love you so much. we have 2 semester to gathering but today I'm really proud to all of you. we can do Koski, evaluation, etc. although we still have weakness, but I believe that we can do everything sselagi kita BERSATU :)you are my everthing ICP PGMI 2011 :)oya, I really proud when all of you know boy who I love, but all of you can keep our secrets :) we are family :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Help Me

Ya Allah aku rindu kepadamu ...
bantulah aku untuk mempunyai teman yang selalu hadir di setiap suka dan duka ku...
aku juga bisa hadir dalam suka dukanya ....
aku hanya manusia biasa ....
aku hanya makhluk sosial yang juga butuh rasa perhatian, kasih sayang ....
aku ingin mendapatkan itu semua ...
tapi ........
aku tidak bisa melakukannya untuk orang lain .....
aku terlalu egois dalam hidupku ....
aku hanya mementingkan diriku sendiri
aku hanya memikirkan bagaimana aku menghidupi dri sendiri
aku hanya bisa berpikir tentang diriku
tanpa sedikitpun memikirkan orang lain

bantu aku Ya Allah, ajari aku untuk berbagi, menyanyangi, memiliki, berbaur di jalan Mu yang lurus
ku mohon ...........

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

HAMKA

A. SEJARAH KELAHIRAN HAMKA
Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA, (akronim pertama bagi orang Indonesia) Dalam nama tersebut tercantum nama ayah dan kakeknya (Hamka, 1967: 57-58). Hamka sengaja menggabungkan nama kedua laki-laki yang sangat dihormati dalam hidupnya. Ia berharap dapat melakukan apa pun sama baiknya, seperti ayah dan kakeknya. Sebenarnya, nama pemberian kedua orang tua Hamka adalah Abdul Malik. Pemilihan nama tersebut karena ayah Hamka sangat menghormati salah satu gurunya sewaktu belajar Islam di Mekah, yaitu Sjech Ahmad Chatib (Hamka, 1967: 66). Oleh karena itu, ayahnya memberi nama yang sama dengan putra dari gurunya, yaitu Abdul Malik. Selain dikenal dengan Hamka, ia juga memiliki beberapa nama samaran, yaitu A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki (hamzah, 1996:3).
            Lahir di kawasan Sungai Batang, desa kampung Molek, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Pebruari 1908 M./13 Muharam 1326 H [1]dari kalangan keluarga yang taat beragama. Beliau adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.[2] Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.[3] Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) bin Syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh, sebagai salah seorang pembawa pembaharuan dalam Islam yang di waktu itu disebut kaum muda. Merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria, istri kedua bagi ayahnya. (w. 1934)  dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya[5]. [6]. Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, bangunannya merupakan rumah tempat Hamka dilahirkan.
Ia merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara Kehidupan masa kecil Hamka sangat dipengaruhi oleh keinginan dan harapan ayahnya. Salah satu harapan ayahnya adalah menjadikan Hamka sebagai ulama (Ali, 1983: 465). Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.
.Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.[4] Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
Ketika Hamka berumur enam tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang karena di sana menjadi tempat berkumpul orang-orang mempelajari agama Islam. Setelah itu, saat Hamka berumur tujuh tahun sudah belajar di sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Al-Qur’an pada ayahnya hingga tamat. Setelah itu dari tahun 1916-1923, ia belajar agama Islam dan bahasa arab di Diniyah school dan Sumatra Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Sumatra Thawalib adalah suatu sistem pendidikan yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Selain itu, sumatra thawalib juga dikenal sebagai julukan bagi golongan yang memperoleh pendidikan islam. Thawalib School, kurikulum dan materi pelajaran masih memakai cara lama. Buku-buku lama dengan keharusan menghafal, masih merupakan ciri utama sekolahan ini. Inilah yang membuat Hamka cepat bosan. Keadaan inilah yang membuat Hamka berada di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai el-Yunusi dan Bagindo Sinaro (Jassin, 1987: 121). Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah.
            HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
            Tatkala ia berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian kedua orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum laki-laki Minangkabau yang kawin lebih dari satu. Sebab hal tersebut bisa merusak ikatan dan keharmonisan rumah tangga.
            Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada tahun 1924, Hamka pergi ke Yogyakarta. Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di desa Ngampilan. Bersama dengan pamannya, ia diajak mempelajari kitab-kitab klasik dengan beberapa ulama waktu itu, seperti Ki Bagus Hadikusumo (tafsir), R.M. Soeryopranoto (sosiologi), KH. Mas Mansur (filsafat dan tarikh Islam), Haji Fachruddin, H.O.S. Tjokroaminoto (Islam dan sosialisme), Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, dan  A.R. Sutan Mansur (Hamzah, 1993: 5).
Ketika di Yogyakarta, ia berkenalan dengan teman-teman seusianya. Di antaranya Muhammad Natsir. Di sini, ia mulai berkenalan dengan ide pembaharuan gerakan SI dan Muhammadiyah yang dipimpin A.R. St. Mansur. Kemudian pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, A.R. St. Mansur. Ia banyak belajar dari iparnya, baik tentang Islam yang dinamis maupun politik. Di sini ia “berkenalan” dengan ide-ide pembaharuan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat. [7] Pelajaran baru yang diperoleh Hamka menimbulkan semangat kesadaran Islam yang murni dalam dirinya. Oleh karena itu, ia turut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial politik dan agama di Yogyakarta.
            Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah.
            Selain senang membagi pengetahuan yang didapatnya, Hamka juga rajin memperluas pengetahuannya melalui beberapa bacaan, seperti jurnal Seruan Azhar yang terbit di Mesir. Berdasarkan bacaan tersebut, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud (Ali, 1983:472). Selain itu, ia juga berlangganan surat kabar Hindia Baru dan Bendera Islam. Bacaannya itu juga memperluas pengetahuan tentang gerakan Islam di Indonesia. Pengetahuan luas yang dimiliki Hamka membuat dirinya semakin berkembang menjadi pribadi yang berkualitas.
            Pada bulan Juni 1925, ia pulang ke Maninjau dengan  membawa semangat dan wawasan baru tentang Islam yang dinamis. Adapun buah tangan berharga yang dibawanya adalah beberapa buah karya yang memuat pemikiran dinamis ilmuan muslim waktu itu, antara lain Islam dan Sosialisme (kumpulan dari semua pidato H.O.S. Tjokroaminoto) dan Islam dan Materialisme (salinan merdeka A.D. Hani atas karangan Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan, baik agama maupun umum, ia telah berani tampil berpidato di muka umum. Untuk membuka wawasannya, ia mulai berlangganan surat kabar dari Jawa. Melalui surat khabar tersebut, ia banyak berkenalan pula dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan umat Islam, baik di Indonesia maupun luar negeri, seperti Haji Agus Salim, Ir. Soekarno, Mustafa Kemal Attaturk, Ibn Sa’ud, Sa’ad Zaghlul Pasya, Syarif Husein, dan lain sebagainya. Meskipun kegandrungan ide pembaharuannya demikian menggelora, bukan berarti ia lupa untuk mendalami adat Minangkabau. Sebagai putra Minang, ia juga mempelajari adat istiadat negerinya dengan Dt. Singo Mangkuto.
Untuk memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan Islam “baru” tersebut, ia awali dengan membuka kursus pidato yang diberi nama “Tabligh Muhammadiyah” pada tahun 1925. Pelaksanaannya dilakukan sekali seminggu dan  mengambil tempat di Surau Jembatan Besi Padangpanjang. Naskah pidato teman-temannya, banyak yang ia sendiri membuatkannya. Kumpulan pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib al-Ummah.
Pada tahun 1927, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sambil menjadi koresponden pada harian “Pelita Andalas’ di Medan. Sekembalinya dari Mekah, ia tidak langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan, ia banyak menulis artikel dipelbagai  majalah waktu itu, seperti majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura,  pembantu  redaksi “Bintang Islam”, dan “Suara Muhammadiyah” di Yogyakarta. Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur, ia kemudian diajak pulang ke Padangpanjang. Sekembalinya dari tanah suci, dalam satu rapat adat ninik mamak “Nan Kurang Dua Empat Puluh” dalam Nagari Sungai Batang, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung.
Pada tanggal 5 April 1929  ia kemudian dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan (anak mamaknya). Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, ‘Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan asal Cirebon, yaitu Hj. Siti Khadijah.
Kreativitas jurnalistiknya semakin kelihatan melalui beberapa karya tulisnya. Pada tahun 1928, ia menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa minang dengan judul “si Sabariah”. Ia juga pemimpin majalah “Kemajuan Zaman” di Medan. Pada tahun 1929, hadir pula buku-bukunya, seperti Sedjarah Sajjidina Abubakar Shiddiq, Ringkasan Tarich Umat Islam, Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau (buku ini dilarang beredar oleh Kolonial pemerintah Belanda), Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Mi’raj, dan lain sebagainya. Dinamika jurnalistiknya terus berkembang dan melahirkan berpuluh-puluh karya tulis, baik yang berbentuk roman, biografi dan otobiografi, tasauf, tafsir, sosial kemasyarakatan, pemikiran pendidikan (Islam), teologi, sejarah, dan fiqh. Namun demikian, tidak semua karyanya tersebut merupakan tulisan secara utuh. Sebagian di antaranya merupakan kumpulan artikel yang tersebar dalam berbagai media massa dan kemudian dibukukan.
Kariernya di Muhammadiyah mulai diperhitungkan, terutama ketika ia menjadi pembicara dengan makalah ‘Agama Islam dan Adat Minangkabau’ pada Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi tahun 1930. Melalui makalah tersebut, menempatkannya sebagai pembicara yang pertama sekali mencoba mempertalikan antara adat dan agama. Pada awal 1930, ia diajak ayahnya ke Sumatera Timur dan Aceh untuk memenuhi undangan kaum Muhammadiyah di sana. Kemudian pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia meneruskan perjalanan ke Bagan Siapi-Api, Labuhan Bilik (Pane), Medan, dan kemudian ke Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Kepiawaiannya sebagai mubaligh kembali memukau para peserta Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta  pada tahun 1931, dengan judul  ‘Muhammadiyah di Sumatera’. Dengan kemampuan retorikanya dalam menyampaikan makalah, telah menarik perhatian seluruh peserta kongres, bahkan sampai menangis. Untuk itu, tidak heran jika pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammdiyah sebagai mubaligh ke Makasar (Sulawesi Selatan) dan pada tahun 1934 sebagai anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Ketika di Makasar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan pada masa ini ia muncul sebagai peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makasar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama  “al-Mahdi”. Setiap penerbitan majalah ini dicetak sebanyak 500 eksamplar. Karena faktor biaya, majalah ini hanya mampu bertahan sebanyak 9 nomor. Pada tahun 1934, ia meninggalkan Makasar dan kembali ke Padangpanjang untuk meneruskan cita-citanya dan mengelola Kulliyatul Muballighin antara tahun 1934-1935. Tujuan lembaga ini adalah untuk mencetak para mubaligh. Pada beberapa mata pelajaran penting seperti  ilmu ushul fiqh dan manthiq, ilmu ikhtilaful mazahib (dengan memakai kitab Bidayatul Mujtahid), ilmu tafsir (al-Manar), dan ilmu ‘arudh. Akan tetapi, karena honorarium dari mengajar tak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, maka bulan Januari 1936, ia memutuskan untuk berangkat ke Medan. Di Medan –bersama M. Yunan Nasution– ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub dan Mohammad Rasami (bekas sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat dengan gaji sebesar f 17,50. Meskipun melalui banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran majalah ini berkembang cukup pesat, bahkan oplahnya mencapai 4000 eksamplar setiap penerbitannya.
Melalui rubrik “tasauf modern”, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran-pemikirannya yang cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Mohammad Isa Anshari.
Ketika zaman pendudukan Jepang (1942), ia masih sempat menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun demikian, kehadiran majalah ini tidak bisa menggantikan kedudukan majalah Pedoman Masyarakat yang telah demikian melekat di hati pembacanya. Di tengah-tengah kekecewaan massa terhadap kebijakan Jepang, ia memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintah Jepang sebagai anggota Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1944. Sikap kompromistis dan kedudukannya sebagai “anak emas” Jepang telah menyebabkannya terkucil, dibenci, dan dipadang sinis oleh masyarakat. Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuatnya “lari malam” dari kota Medan menuju Padangpanjang pada tahun 1945.
Sesampainya di Padangpanjang, ia dipercayakan untuk memimpin kembali Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya ; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada konferensi Muhammadiyah di Padangpanjang pada tahun 1946, ia terpilih sebagai ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto, sampai tahun 1949.
Setelah tercapainya Persetujuan Roem-Royen pada tanggal 18 Desember 1949, ia memutuskan untuk meninggalkan Minangkabau menuju Jakarta. Di sini, ia menekuni dunia jurnalistik dengan  menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya Kenang-Kenangan Hidup (1950). Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi. Bersama-sama dengan tokoh Masyumi lainnya, ia mendukung gagasan untuk mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Bersama K.H. Faqih Oesman dan M. Yusuf Ahmad, pada tanggal 15 Juni 1959 ia menerbitkan majalah bulanan Panji Masyarakat.
Pada tahun yang sama, ia mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu yang indah.  Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang kesusanteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
 Pada tahun 1960 beliau terpilih menjadi Imam besar Masjid al-Azhar. Karena tuduhan palsu terlibat percobaan pembunuhan terhadap presiden Sukarno sebagaimana isu yang berkembang Indonesia pada akhir tahun 2002, bahwa Syeikh Ba’asyir diisukan merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Megawati Sukarno Putri-Hamka ditahan pada tahun 1964. selama dua puluh bulan berada di tahanan, beliau menyelesaikan naskah Tafsir al-Azhar sebanyak tiga puluh jilid.
Pada bulan Mei 1960 kontinuitas majalah ini terpaksa ditutup (dibrendel) dan kemudian kembali diterbitkan pada tahun 1967 pada masa pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1950, setalah melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya, ia melakukan lawatan ke beberapa negara Arab. Di sini, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah yang karangan mereka selama ini dikenalnya dengan baik. Sepulangnya dari lawatan ini, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.
Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka yang sejak tahun 1975 menjadi ketua MUI mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal ini disebabkan oleh perayaan Natal yang dilakukan bersama dengan penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI yang diketuai Hamka telah mengelurkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk mengikuti perayaan Natal, di mana fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwira dan meminta untuk mencabutnya.
Hamka meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
C. Hamka dan Kegiatan Tulis-Menulis
Pada tahun 1925, Hamka menulis majalah pertama yang bernama Khatib ul Ummah. Majalah tersebut berisi kumpulan pidato anak muda yang mengikuti kursus pidato di surau ayahnya (Ali, 1983: 471). Pada waktu yang sama, Hamka juga menerbitkan majalah Tabligh Muhammadiyah. Pada tahun 1927, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang pertama. Selama di Mekah, Hamka menjadi koresponden pada harian Pelita Andalas di Medan. Semasa hidupnya, Hamka sudah menjalani naik haji sebanyak tujuh kali. Pulang dari Mekah, ia menulis pada majalah Seruan Islam di Tanjung Pura (Langkat). Selain itu, ia juga menulis pada Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah di Yogyakarta. Setahun kemudian, Hamka menjadi pemimpin redaksi majalah Kemajuan Zaman. Dua tahun setelah naik haji, Hamka menikah dengan Siti Ramah, tunangannya semasa kecil, pada tanggal 5 April 1929. Ketika menikah, usia Hamka 21 tahun dan istrinya berusia 15 tahun. (Poeradisastra, 1996:51).
Pernikahan Hamka dengan Siti Ramah mendapatkan sepuluh orang anak, tujuh orang laki laki dan tiga orang perempuan. Sejak pernikahan dan gelar hajinya, Hamka mulai mendapatkan tempat sebagai ulama terpandang di Minangkabau hampir menyamai nama ayahnya. Pada kenyataannya, sebelum Hamka menunaikan ibadah haji, sering kali ia mendapatkan kritik sebagai tukang pidato yang tidak berijasah (Ali, 1983: 471). Hal itu tidak dapat ditutupi karena Hamka mendapatkan berbagai macam pengetahuan tidak menempuh pendidikan formal, seperti sekolah. Ia mendapatkan pengetahuan secara otodidak dengan senang membaca berbagai jenis buku, belajar apa pun saat ia berpindah-pindah tempat tinggal, dan menimba ilmu kepada orang-orang yang pengetahuannya lebih luas daripada dirinya. Sebelum pindah ke Medan, Hamka sempat mengajar di Makasar dan menerbitkan majalah Al-Mahdi selama tiga tahun. Pada tahun 1935, ia bersama kawan-kawannya menerbitkan mingguan Islam di Medan, yaitu Pedoman Masyarakat. Majalah itu dipimpinnya dari tahun 1936—1943. Pada waktu itu, karangan yang diterbitkan dalam majalah tersebut, antara lain agama, filsafat, tasawuf, novel, roman, dan cerita pendek. Namun, kedatangan Jepang di Medan membuat Pedoman Masyarakat dibredel karena tidak sejalan dengan keinginan Jepang.
Semasa penjajahan Jepang, Hamka diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Syu Sangi Kai) untuk masalah pemerintahan dan keislaman pada tahun 1944. Jabatan ini membuat posisi Hamka terpojok karena dianggap sebagai mata-mata penjajah dalam pribumi oleh teman-temannya. Pada kenyataannya, Hamka menerima tawaran tersebut karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Kepolosan Hamka dalam menanggapi janji semu tersebut dapat membuktikan bahwa jiwa politikus Hamka tidak lebih tajam dari jiwa berdakwah dan menulis dalam dirinya.
Setelah pecah revolusi, Hamka kembali ke Sumatera Barat pada tahun 1945. Di sana, ia menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Melalui karya-karyanya, ia menyampaikan pemikiran tentang perubahan ke arah yang lebih baik. Buku-buku yang dihasilkan, antara lain Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Setelah berkecimpung dengan situasi revolusi di Sumatera Barat, Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950. Di Jakarta, Hamka semakin giat menulis untuk mendokumentasikan apa yang sudah dialaminya. Pada waktu itu, orang banyak sudah mengakui kepiawaian Hamka dalam menulis, baik karya sastra maupun berbagai artikel keagamaan. Dengan keahliannya tersebut, pada tahun 1951—1960, Hamka diangkat menjadi anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementrian P.P dan K serta menjadi penasehat kementrian Agama. Di lingkungan pemerintahan, Hamka juga menjabat sebagai anggota Majelis Perhimpunan Haji (Jamil, 1983: 63). Pada waktu yang sama, Hamka menjabat sebagai dosen luar biasa pada perguruan tinggi Islam dan Universitas Islam di Makasar. Di samping itu, Hamka menjabat sebagai direktur periodik majalah Panji Masyarakat pada tahun 1955—1958.
            Pada tahun 1958, Hamka menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir atas inisiatif mantan Duta Besar Mesir di Indonesia, Sajid Ali Fahmi Al Amrousi. Gelar tersebut diberikan karena pidatonya yang berjudul “ Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”. Selain sebagai pengarang, Hamka juga ulama yang pandai berpidato. Keahliannya tersebut diwariskan oleh kakek dan ayahnya. Pada tahun 1959, Hamka memimpin majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Majalah tersebut berisi tentang pengetahuan dan kebudayaan Islam. Namun, majalah tersebut dihentikan penerbitannya oleh penguasa perang Jakarta Raya pada tahun 1960 karena memuat tulisan Mohammada Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” (Hamzah, 1993: 6). Berbagai peristiwa penghentian penerbitan majalah yang pernah dipimpinnya tidak membuat Hamka jera untuk memimpin
majalah kembali.
            Pada tahun 1962, Hamka kembali mendirikan majalah Gema Islam, majalah pengetahuan dan kebudayaan Islam. Namun, pada tahun 1964, majalah tersebut dihentikan penerbitannya karena Hamka dituduh melanggar Penpres Anti Subversif oleh pemerintahan Soekarno (Hamzah, 1993: 6). Hal itu menyebabkan Hamka ditahan di penjara sampai tahun 1966. Meskipun menjadi tahanan, tidak menyurutkan keinginan Hamka untuk tetap menulis. Semasa menjadi tahanan, Hamka menghasilkan satu buku yang berjudul Tafsir Al-Azhar. Setahun setelah keluar dari penjara, Hamka menerbitkan dan memimpin majalah Panji Masyarakat. Ia tidak gentar dengan kepemimpinan Soekarno yang telah membuat dirinya masuk ke dalam penjara selama dua tahun. Menurutnya, menulis adalah kegiatan yang harus tetap dilakukan agar dapat menyuarakan pemikirannya.
            Hamka kembali mendapatkan kepahitan dalam hidup ketika istrinya, Siti Rahmah, meninggal pada tanggal 1 Januari 1972. Namun, kesedihan Hamka ditinggalkan istri tidak terlalu lama dirasakannya. Pada tanggal 19 Agustus 1973, ia menikah kembali dengan Hajjah Siti Khadijah dari Cirebon. Setahun kemudian Hamka mendapatkan kembali gelar Doctor Honoris Causa. Gelar kedua yang diterimanya tersebut berasal dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Keaktifannya berperan dalam masalah-masalah sosial dan keagamaan di Indonesia sebagai salah satu faktor penting atas pemberian gelar tersebut. Tahun berikutnya, 1975, Hamka menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia menjabat dari tahun 1975—1981 (Hamzah, 1993: 7). Jabatan ini adalah jabatan terakhir yang dipegang sebelum akhir hayatnya. Hamka meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di rumah sakit Pertamina karena serangan jantung.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Biografi Prof. Dr. Hamka (Buya Hamka) | 2LiSan.Com

Biografi Prof. Dr. Hamka (Buya Hamka) | 2LiSan.Com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

integrasi dan koneksi tasawuf dan psikologi


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian Tasawuf pada era klasik diposisikan pada hasil pemikiran ulama yang sulit dipahami dan berkonsekuensi kurang diminati. Tasawuf  pada intinya adalah studi kejiwaan yang identik dengan psikologi dan perlu diapungkan agar berkembang pesat seperti keadaannya psikologi.  Kajian-kajian keislaman memerlukan rekontruksi islami agar berkembang seiring dengan perkembangan sains dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Sehubungan dengan pemikiran tentang rekonstruksi islami bagi studi kejiwaan, M. Izzuddin Taufiq (2006: 28-53) mengemukakan tiga kelompok sikap umat Islam untuk ini. Pertama, sikap menentang dari kalangan Islam secara umum dengan alasan bahwa  Islam sangat kaya dan tidak memerlukan rekonstruksi. Di samping itu kebudayaan  mereka tidak memperbolehkan mereka  untuk membahas  studi kejiwaan secara spesifik. Kedua, sikap menentang dari kalangan psikologi sendiri karena mereka meragukan rekonstruksi tersebut. Berkenaan dengan hal itu, Ismail al Furuqi yang gencar melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan mengemukakan keluhannya bahwa dalam lembaga dimana ia melakukan penelitian terdapat seratus ribu anggota yang menyandang gelar magister dan doktoral, namun sedikit sekali yang dapat diperhitungkan keberadaannya, yang memiliki pemikiran kritis dalam memberikan label Islami. Banyak dari mereka yang hanya mengekor kepada kajian barat dan tidak peduli dengan rekonstruksi ini, bahkan menjadi orang yang paling ragu dan memandang mustahil perwujudannya dan lebih jauh melakukan provokasi terhadapnya. M. Malik B. Badri dalam bukunya Te Dilemma of Muslim Psychologst melancarkan kritik terhadap para psikolog muslim yang cenderung menggunakan aliran barat tanpa mempertimbangkan nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, menerima  pemikiran rekonstruksi dan terlibat aktif untuk mewujudkannya.  Sikap ini muncul dari kesadaran  bahwa psikologi barat telah maju dengan pesat dan pengaruhnya telah  dirasakan  dalam penelitian ilmiah.
Dalam studi Tasawuf, penulis  sependapat dengan kelompok ketiga di mana kajian tasawuf hari ini dapat berintegrasi dan berinterkoneksi dengan psikologi yang berkembang sangat pesat. Tasawuf dan Psikologi memberikan tempat yang sangat strategis terhadap potensi kepribadian manusia dalam menentukan arah jalan kehidupan. Kedua bidang ilmu ini telah berupaya mengkaji kepribadian manusia secara lebih komprehensif. Hanya saja perkembangan kajian Tasawuf relatif lambat dibanding  psikologi. Tasawuf dan Psikologi, keduanya unik, dialami secara pribadi dalam bentuk yang berbeda pada tiap orang. Tasawuf mengacu kepada kesalehan pribadi dengan berupaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan atau berusaha tanpa putus untuk menghadirkan Tuhan di dalam hati.  Psikologi  menyangkut kajian tentang jiwa/mental atau kondisi dalam diri manusia, yang gejalanya teramati pada tingkah laku nyata. Dengan integrasi dan interkoneksi antara Tasawuf dan Psikologi, perpaduan ini dapat saling melengkapi dan berkembang secara bersama sehingga dikotomi ilmu dapat teratasi.

B. RUMUSAN MASALAH
1.  Apa yang dimaksud tasawuf ?
2. Bagaimana Psikologi Memandang Manusia ?
3. Bagaimana Aplikasi Integrasi dan Interkoneksi Tasawuf dan Psikologi ?

C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui tentang Tasawuf
2.      Mengetahui Psikologi Memandang Manusia
3.      Mengetahui Aplikasi Integrasi dan Interkoneksi Tasawuf dan Psikologi
















BAB II
PEMBAHASAN

A. Tasawuf

            Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol)(Majmu’ul Fatawa, 11/5-6).
            Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
            Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
            Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).
Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. (Talbis Iblis hal 161).
            Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17) “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.”(Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).
            Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).
            Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)
           
B. Psikologi Memandang Manusia.
           
            Berangkat dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Dalam hal ini unsur rohani  tidak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata.  Di samping itu, filsafat manusia yang melandasi psikologi bercorak antroposentrisme di mana manusia ditempatkan sebagai pusat dari segala pegalaman dan segenap relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang berkaitan dengan manusia dan kemanusiaan.
            Sampai akhir abad keduapuluh, terdapat empat aliran besar psikologi yakni Psikoanalisis, Perilaku (Behaviorisme), Humanistik, dan Transpersonal. Masing-masing aliran melihat manusia dari sudut pandang berbeda, dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, lalu membangun teori dan filsafat tentang manusia.
            Aliran Psikoanalisis yang dipelopori oleh Freud (1856 – 1939) berangkat dari pengalaman dengan para pasiennnya. Ia menemukan berbagai dimensi dan prinsip tentang manusia, kemudian menyususn teori yang sangat mendasar, majemuk, serta luas implikasinya dalam bidang ilmu-ilmu sosial, humaniora, filsafat, dan ilmu agama, serta memberikan inspirasi terhadap berbagai karya seni.
            Freud berpendapat bahwa kepribadian manusia terdiri atas tiga sistem yaitu Id (dorongan-dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif) yang berinteraksi satu sama lain dan masing-masing  memiliki fungsi dan mekanisme yang khusus. Id adalah berbagai potensi yang terbawa sejak lahir, insting dan nafsu primer, sumber energi psikis yang memberi daya kepada Ego dan Superego untuk menjalankan fungsi-fungsinya.  Selain dari itu, manusia juga memiliki tiga tingkatan kesadaran yaitu Alam Sadar (The Conscious), Alam Prasadar (The Preconscious), dan Alam Taksadar (The Unconscious).  Psikoanalisis klasik dari Freud beranggapan bahwa perilaku manusia banyak dipengaruhi  oleh Alam Taksadar dan dorongan-dorongan biologis (termasuk nafsu) yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Dengan demikian, Psikoanalisis klasik beranggapan bahwa pada hakikatnya manusia adalah buruk, liar, kejam, sarat nafsu, egois dan sejenisnya yang berorientasi pada kenikmatan jasmani.
            Aliran  Perilaku (Behaviorisme) beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya netral, baik buruknya perilaku seseorang dipengaruhi oleh situasi dan perlakuan yang dialaminya. Psikologi Perilaku memberikan sumbangan besar dengan ditemukannya asas-asas perubahan perilaku yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi, pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial melalui law enforcement dalam bentuk:
a) Classical Conditioning (pembiasaan klasik) yaitu rangsang (stimulus) netral akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang itu sering diberikan bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut.
b) Law of effect (hukum akibat) yakni perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan pelaku cenderung diulangi; sebaliknya  perilaku yang menimbulkan akibat tidak memuaskan atau merugikan cenderung dihentikan.
c)   Operant conditioning (pembiasaan operan): suatu pola perilaku akan mantap apabila berhasil diperoleh hal-hal yang diinginkan pelaku (penguat positif) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Di sisi lain suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tidak menyenangkan (Hukuman), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan pelaku (Penghapusan).
d)  Modeling (peneladanan): perubahan perilaku dalam kehidupan sosial terjadi karena proses dan peneladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi dan dikagumi.
            Keempat asas perubahan perilaku itu berkaitan langsung dengan proses belajar yang melibatkan unsur-unsur kognisi (pemikiran), afeksi (perasaan), konasi (kemauan), dan aksi (tindakan) atau dengan kata lain meliputi unsur cipta, rasa, karsa, dan karya.
            Aliran psikologi Humanistik memandang manusia berbeda dengan Psikoanalisa yang beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya buruk, berbeda pula dengan aliran Behaviorisme yang menganggap manusia pada hakikatnya netral. Aliran ini menganggap manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi baik. Asumsi dasar yang digunakan dalam memandang manusia bahwa manusia memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri. Aliran Logonterapi yang dikelompokkan orang pada aliran Humanistik menemukan ada dimensi lain dalam diri manusia selain dari dimensi raga (pisik) dan kejiwaan (psikis). Dimensi lain itu adalah noetik atau disebut juga dimensi kerohanian, namun tidak mengandung konotasi agamis. Victor Frankl yang menemukan Logoterapi memandang dimensi ini sebagai inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup.
            Aliran Tanspersonal berpandangan bahwa manusia memiliki potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness). Gambaran selintas tentang Psikologi Transpersonal bahwa aliran ini mencoba menjajaki dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai garapan kalangan kebatinan dan mistikus. Aliran ini berpendapat bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa potensinya. (Bastaman,  2005:49-54).
            Teori-teori yang dikonstruksi oleh para ahli psikologi dalam berbagai aliran telah memberikan sumbangan besar dalam pembentukan perilaku dan kepribadian manusia. Di samping itu, perkembangan psikologi yang sangat pesat dengan berbagai cabang antara lain, Psikologi Perkembangan, Psikologi Pendidikan, Psikologi Komunikasi, Psikologi Abnormal,   dan lain-lain telah mendominasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Teori-teori yang dihasilkan   telah diaplikasikan untuk berbagai lini kehidupan dan boleh dikatakan cukup efektif dalam pembentukan perilaku.
            C. Aplikasi Integrasi dan Interkoneksi

            Psikologi berarti jiwa, maka ilmu jiwa adalah pembahasan mengenai gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Dengan melalui ilmu jiwa, dapat diketahui gejala-gejala psikologis yang bersumber dari tingkah laku yang ditampakkan seseorang.
Pembahasan ilmu akhlak meliputi tingkah laku manusia, Dalam setiap akhlak dibutuhkan suatu penghayatan apakah akhlak itu baik atau buruk melalui kejiwaan kita sendiri dimana kita akan menilai seberapa kita mampu menjalankan segala sesuatu yang telah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai muslim. Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Pengembangan dan penyempurnaan ilmu akhlak banyak menggunakan teori-teori ilmu jiwa. Al-Ghazali menulis dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din tentang kondisi kejiwaan manusia misalnya dapat dilihat salah satu pembahasannya yang membicarakan arti jiwa, roh, hati dan akal. Begitu pula pada bab lain membicarakan terapi kejiwaan yang sakit (Mu’alajah amran al-qalbi) ini menunjukkan betapa sangat erat kaitan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa. Bahkan ilmu akhlak dalam islam, disamping pengembangannya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, banyak juga menggunakna teori ilmu jiwa analisis (psikoanalisis). Ilmu akhlak dapat berkembang dengan menggunakan teori-teori psikologi dari hasil penelitian ahli ilmu jiwa, sedangkan ilmu jiwa juga dapat dikembangkan dengan menggunakan teori-teori ilmu akhlak dari kajian oleh para ulama akhlak.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa akhlak tasawuf ialah suatu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat mungkin melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan akhlak dalam segi agama akhlak tasawuf lebih mendalam lagi, karenanya dibutuhkan keyakinan dalam kejiwaan seseorang, dalam hal ini ialah ilmu jiwa agama yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya.
Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit, ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji. Pola kedekatan manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf, dari sinilah tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa.
            Telah dikemukakan di atas bahwa ajaran pokok tasawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri menuju Tuhan. Pembentukan perilaku saleh dan mendekatkan diri pada Allah terus menerus tanpa putus menjadi tujuan dari tasawuf. Teori-teori psikologi yang telah ditemukan para ahli Psikologi  dengan berbagai aliran dapat berintegrasi dan berinterkoneksi dengan Tasawuf.
            Secara sepintas dipahami bahwa aliran Humanistik lebih mirip dengan kajian tasawuf, namun terdapat perbedaan yang mendasar. Dalam mengadakan penelitian, mengikuti cara fenomenologis di mana penelitian dilakukan terhadap manusia dengan mengungkap apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan, tanpa membawa praduga terlebih dahulu. Logonterapi yang termasuk aliran ini melihat bahwa ada dimensi lain dalam diri manusia yakni noetik (kerohanian) hanya saja tidak memperlihatkan nuansa agama. Penelitian-penelitian yang dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik antara lain yang dilakukan oleh Abraham Maslow menemukan lima jenjang kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Hanya saja tidak dapat dijelaskan apakah setelah lima jenjang kebutuhan tersebut terpenuhi, manusia akan menjadi statis dan berhenti berperilaku atau tetap berperilaku. Seandainya tetap berperilaku dikhawatirkan muncul sikap antroposetrisme di mana manusia percaya diri dengan kemampuannya dan memperlakukan manusia lain sesuai kemauannya. Pada hakikatnya, kajian tasawuf dapat mengisi ruang ini dengan mengaitkan pada ajaran Tuhan.
            Ajaran ini memberikan rambu-rambu tentang  cara berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan manusia. Dalam dua bentuk hubungan itu harus ada keadilan dan keseimbangan agar menjadi   manusia sempurna (insan kamil). Ajaran tasawuf dengan berbagai maqamat yang harus dilewatinya selalu melatih dan membiasakan diri dengan takhalli (mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk/keduniaan), tahalli (membiasakan diri dan memakai sifat-sifat terpuji), dan tajalli (merealisasikan sifat-sifat terpuji dalam kehidupan).  Agar pelaksanaan latihan tersebut dapat  dilakukan dengan baik,  diperlukan bantuan psikologi yang telah menemukan teknik pembelajaran dan perubahan perilaku yang telah ditemukan oleh tokoh-tokoh aliran Behaviorisme.
            Teori Abraham Maslow tentang pengalaman puncak (peak experinence) boleh dikatakan mirip dengan maqam tertinggi wahdatul wujud dari Ibnu ‘Arabi. Keduanya mengemukakan pendapat  tentang bersatunya individu dengan alam, hanya saja Ibnu ‘Arabi menghubungkan dengan Tuhan, Pencipta alam di mana dia melihat bayangan Tuhan di alam, semetara Maslow tidak menyertakan nuansa keagamaan.  
            Selain dari itu teknik-teknik asesmen dalam psikologi untuk mengukur berbagai perilaku dapat pula digunakan buat mengukur perilaku saleh yang dikemukakan dalam tasawuf. Psikologi telah menemukan teknik-teknik yang relatif tepat untuk mengetahui dimensi kejujuran, keamanahan, meningkatkan semangat kerja, dan lain-lain, namun  belum  memasukkan dimensi pengontrolan Tuhan terhadap perilaku manusia. Perilaku beriman dan berihsan dengan menyeimbangkan antara hakikat dan syari’at dapat diketahui dengan teknik-teknik asesmen tersebut.
            Penelitian-penelitian masyarakat yang bernuansa Tasawuf dapat pula diintegrasikan dengan Psikologi. Konsep-konsep tasawuf diupayakan pengukurannya dengan teknik pengukuran pskologis. Hal ini dapat dilakukan baik untuk metode penelitian dengan jenis  kuantitatif, maupun kualitatif.  Tanpa menghiraukan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode, menurut penulis  penelitian kualitatif lebih mendekati kebenaran untuk penelitian tasawuf daripada penelitian kuantitatif.  Dengan demikian,  penelitian tasawuf tidak hanya dapat dilakukan dengan library research, tetapi juga berlaku untuk penelitian lapangan atau penelitian konteks.
            Ditemukan adanya keterkaitan antara kedua ilmu tersebut. Berkaitan dengan pencarian titik singgung antara tasawuf dan psikologi agama itu dapat diungkap beberapa temuan berikut: Pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajiannya. Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah, metode ilahiyah, dan metode-metode yang berkaitan dengan “qalb” lainnya. Sementara psikologi agama menggunakan metode pengkajian psikologis empirik. Tasawuf membahas bagaimana “menyucikan jiwa spiritualitas manusia beragama”, psikologi agama membahas “bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap seluruh aspek kehidupan manusia yang observeable terutama. Kedua, Tasawuf dan psikologi agama berbicara tentang kondisi keberagamaan seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan “rasa”, sementara psikologi agama menggunakan pendekatan “positivisme”, cara berfikir positif, dan rasional empirik. Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dengan psikologi agama ditemukan ketika ternyata “salah satu kajian psikologi agama adalah perilaku para sufi”. Hanya saja psikologi agama melihat ketasawufan para sufi melalui fenomena yang dapat diteliti dan diobservasi. Psikologi agama tidak mengkaji tasawuf dari segi ajaran dan ritus-ritusnya, melainkan hanya mengkaji bukti-bukti empirik ketasawufan seorang sufi. Psikologi agama tidak melibatkan diri dalam pembelaan atau penyangkalan terhadap hasil penghayatan para sufi. Psikologi agama hanya mengungkap pengaruh ajaran tasawuf terhadap perilaku dan kepribadian seseorang. Berkaitan dengan ungkapan tersebut, Bernard Spilka secara jelas menyatakan, “amalan mistik (tasawuf) berpengaruh terhadap proses kejiwaan seseorang”.35 Kesimpulan hasil risetnya tersebut dilakukan dengan menggunakan data-data temuan secara empirik dan keterangan-keterangan dari pengalaman para sufi. Keempat, persinggungan tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan dalam “obyek kajian”. Psikologi agama bersinggungan dengan tasawuf dikarenakan ada kepentingan obyek kajian dan atau obyek penelitian. Sebagaimana dalam uraian di atas, salah satu obyek kajian psikologi agama adalah kesadaran dan pengalaman keberagamaanseseorang. Sementara dua hal tersebut banyak ditemukan dalam ajaran dan perilaku kehidupan para sufi. Berkait dengan itu, Nicholson menyatakan “Sufism is the type of religious experiences” (Sufisme, tasawuf, merupakan suatu bentuk berbagai pengalaman keberagamaan). Dengan demikian, titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan dalam beberapa aspek, sebagaimana diungkap di atas, sekalipun persinggungannya tidak bersifat esensial. Secara hakiki, kedua bidang kajian tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan berbeda. Bahkan dapat dikatakan, tasawuf lebih bersikap pasif, sedangkan psikologi lebih bersikap agresif. Penghayatan tasawuf para sufi sama sekali tidak pernah berorientasi pada kepentingan keilmuan. Mereka hanya memiliki satu orientasi, yaitu, bagaimana memperoleh kebahagiaan dan kedekatan sedekat-dekatnya dengan Allah, Sang Khaliq, sementara psikologi agama cenderung terus mencari dan meneliti “semua perilaku dan perikehidupan para sufi”. Kapanpun psikologi agama berdiskusi, maka aspek kehidupan esoterik sufistik umat beragama tidak bisa ditinggalkan. Bahkan aspek tasawuf menjadi bagian kajian yang menyita ruang buku-buku dan riset-riset psikologi agama. Sekalipun persinggungan antara keduanya bersifat pasif aktif, namun persinggungannya dapat dikatakan bersifat mutualisme. Persinggungan antara kedua saling memberi keuntungan dan saling memberi manfaat, terutama, bagi upaya pengembangan dan pemahaman masing-masing ilmu tersebut. Studi terhadap pengalaman para sufi dapat memberikan kesempurnaan pengkajian psikologi agama. Sedangkan pengalaman para sufi yang diungkap melalui kajian psikologi agama dapat memberikan pemahaman dan sekaligus manfaat bagi orang yang hendak mengkaji dan atau mendalaminya.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
           
            Kajian  keislaman diantaranya Tasawuf dapat  berintegrasi dan berinterkoneksi dengan Psikologi.  Dengan perpaduan tersebut,  kajian tasawuf lebih diminati dan dapat berkembang seiring dengan perkembangan Ilmu-ilmu Sosial  dan Humaniora.  Kajian-kajian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Agama, sudah waktunya mengembangkan perpaduan demikian agar kajiannya lebih prospektif.
            Sementara tasawuf merupakan bagian integral dari ajaran agama. Tasawuf merupakan ajaran penyempurna aspek syariat. Muhammad Aqil menegaskan, setiap sesuatu itu memiliki hakikat, hakikat syariat adalah tasawuf. Kesempurnaan amalan syariat sangat ditentukan amalan tasawuf. Kesimpulan tersebut dipertegas pendapat Husein Nasr yang mengatakan “sebenarnya tasawuf itu merupakan perwujudan ihsan, bagian ketiga setelah Islam dan Iman”. Mengimplikasikan ajaran tasawuf dalam usaha memperoleh ketenangan hidup di era modern ini. Ajaran sufistik (Islam) tidak hanya milik para sufi di istana gading semata, tetapi ajaran sufistik dapat diejawentahkan oleh siapapun seorang muslim dalam usahanya memperoleh ketenangan dan kebahagiaan hidup sesuai dengan derajat ilmu dan pemahamannya. Persinggungannya merentang dari obyek kajian hingga tujuan yang hendak dicapai keduanya. Pengkajian dari segi titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama, ini setidaknya semakin membuka peluang lebih luas bagi penelitian terhadap ilmu-ilmu keislaman di masa-masa mendatang.











DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Yayayasan Insan Kamil & Pustaka Pelajar, cet. IV, 2005.
Esposito,  John L. (ed) terj. Eva Y. N dkk. “Sufisme” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam   Modern , Jilid 5, Bandung: Mizan, 2001.
Fromm, Erich. The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Akar Kekerasan, Analisis Sosio Psikologis atas Watak Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2001
Al-Ghazali. Ihyaa! ‘Ulumud Diin, juz 3,  Mesir: ‘Isa al-Babiy al-Halabiy wa   Syurakauh, tt.
Goble, Frank G. terj. A. Supratiknya, Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Hasan, Aliah B. Purwakania, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Imail, Asep Usman “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Muhammad, Hasyim. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Walisongo Press & Pustaka Pelajar, 2002
Mujib, Abul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
An-Najar, Amir. Al-‘Ilmu an-Nafs ash-Shufiyyah, terj. Hasan Abrari, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Jakarta: Pustaka Azzam, cet. II, 2001
Najati, Muhammad Usman, Al-Quran wa ‘Ilm al-Nafs, Kairo: Dar al-Syuruq, cet. VI, 1417 H/ 1997 M
———————————, Al-Hadits wa ‘Ulum an-Nafs, terj. Zainuddin Abu Bakar. Psikologi dalam Perspektif Hadis, Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2004
Nashori, Fuad, Potensi-potensi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II, 2005
Sapuri, Rafi. Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Taufiq, Muhammad Izzudin. At-Ta’shil al-Islami li l-Dirasati al-Nafsiyyah, terj. Sari Narulita, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Jakarta: Gema Insani, 1427 H/     2006 M

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS